PRINGSEWU: (Medinaslampungnews.co.id)–DPRD Kabupaten Pringsewu sepakat menolak beberapa pasal hasil revisi UU No 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPD, DPR dan DPRD (MD3) yang hingga kini terus menimbulkan gejolak dan polemik.
Pernyataan itu disampaikan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Pringsewu Sagang Nainggolan mewakili anggota DPRD Pringsewu lainnya.“Mewakili anggota DPRD Pringsewu, kami juga menolak revisi UUMD3. Saat ini, UU ini masih dilakukan judicial review di MK, hingganya kita harus bersabar menunggunya. Apa pun hasilnya nanti, sebagai masyarakat yang taat hukum, kita harus menerima dan mentaatinya,” ucap Nainggolan menyikapi aksi damai puluhan jurnalis dari berbagai media yang bertugas di Kabupaten Pringsewu, Selasa (20/03).
Jurnalis di Kabupaten Pringsewu menilai, ada beberapa point pasal dalam UUMD3 hasil revisi yang sudah menciderai nilai-nilai demokrasi dan sebagai bentuk pembungkaman secara sistematis.
Syaifullah, salah satu juru bicara dalam aksi “Jurnalis Menolak Hasil Revisi UUMD3” mengemukakan bahwa, dalam Pasal 73 ayat (3) UUMD3 disebutkan kalau DPR bisa melakukan pemanggilan paksa terhadap orang per orangan, kelompok dan atau organisasi dengan meminta bantuan pihak kepolisian negara.
“Pasal 73 Ayat (3) ini menegaskan adanya bentuk dan upaya dewan melakukan pembungkaman terhadap pers. Padahal dalam UU NO 40 tahun 1999 Tentang Pokok-pokok Pers sangat jelas, bagi orang per orangan, organisasi dan atau lembaga diberikan ruang (hak jawab) bilamana merasa berkeberatan dengan apa yang sudah diberitakan,” jelas Syaiful.
Selain itu, Syaiful juga menilai kalau Pasal 122 dalam UU MD3 hasil revisi sudah memberikan kewenangan yang kebablasan.
“Dalam pasal 122 huruf K UU MD3 disebutkan, MKD bisa melakukan upaya hukum bagi orang per orangan, organisasi dan atau lembaga yang dinilai sudah merendahkan lembaga DPR. Ini sebagai salah satu upaya dewan mengkerdilkan dan mengkriminalisasi pers,” tandas Syaiful.
Sebelum menggelar aksi dan menyampaikan pernyataan sikapnya di hadapan empat (4) anggota DPRD Pringsewu, massa aksi yang membawa poster dengan berbagai tulisan sebagai dan membentangkan spanduk, menggelar aksi di Bundaran Tugu Tani Jalan Jenderal Sudirman.
Saepudin dalam orasinya mengatakan, UUMD3 merupakan warisan dari kolonial belanda. Dimana UU tersebut dinilainya sudah memberangus kebebasan dan ruang gerak jurnalis dalam melaksanakan fungsinya sebagai kontrol sosial.
Mengacu pada UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Pers sebut Saepudin, dimana bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi setiap warga negara.
Selain itu, untuk bisa menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
“Sementara, dalam mempertanggung jawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan juga mempunyai hak tolak,” tandasnya.
Menurut Saepudin, hak memperoleh informasi merupakan hak asasi setiap warga negara. Selanjutnya, keterbukaan informasi publik merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan badan publik lainnya.
“Disyahkannya revisi UU MD3 merupakan kemunduran demokrasi di negeri ini. Sebab, ciri-ciri dari negara demokrasi adalah memberikan ruang dan hak bagi warga untuk berekspresi dan menyampaikan pendapatnya,” imbuhnya.
Aksi ditutup dengan melakukan penandatanganan bersama diatas kain putih sebagai bentuk penolakan terhadap hasil revisi UU MD3. (Bulloh)