Jakarta, (MDSnews)—Wartawan tidak perlu hadir dalam penyidikan atau sebuah persidangan sebagai saksi. Prihal tersebut disampaikan Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur, dalam Workshop “Memahami Bahasa Hukum dan Sistem Peradilan” di MA Jakarta, belum lama ini.
.
Dikata Ridwan, kesaksian wartawan telah terbentuk dalam sebuah karya jurnalistik, baik itu dalam bentuk tulisan, foto atau gambar, maupun video. “Karya jurnalistik dapat dijadikan sebagai kesaksian tanpa kehadiran wartawan di penyidikan atau di persidangan,” ungkapnya.

Ridwan menegaskan bahwa tulisan ataupun foto itulah yang kemudian menjadi saksi dan “berbicara” untuk pembuktian seorang terdakwa. “Biar masyarakat yang menilai apakah benar atau tidak berita itu,” tegas Ridwan.
.
Seadainya diperlukan, untuk dikaitkan kebenaran berita tersebut, bukan wartawan yang dimintai keterangan. Tetapi ahli yang didatangkan oleh perusahaan media atau Dewan Pers maupun organisasi wartawan.
Ridwan juga menjelaskan, seorang wartawan dalam laporannya tidak diperkenankan mencampur adukkan antara fakta dengan opini. “Wartawan harus mengacu pada UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam setiap membuat berita yang berimbang,”Ucap Ridwan.
Senada dengan MA, anggota Dewan Pers Wina Armada Sukardi menyatakan jika sengketa mengenai jurnalistik atau delik pers terjadi, maka hakim diminta untuk lebih dahulu mendengar keterangan ahli dari pers. “Serta keterangan ahli mengenai pers yang berasal dari Dewan Pers,”tuturnya.
“Tambahnya, Keterangan ahli bisa dua, bisa anggota Dewan Pers atau orang yang ditunjuk oleh Dewan Pers,” jelasnya.
.
Wina mengingatkan MA telah menerbitkan SEMA No.13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli. Surat yang ditandatangani Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial, Harifin A Tumpa, atas nama Ketua MA, pada 30 Desember 2008.
.
Kemudian, lanjut Wina, untuk menguatkan SEMA No. 13 Tahun 2008, Dewan Pers sudah membuat peraturan mengenai itu yaitu Pedoman Mengenai Ahli dari Dewan Pers, jadi harus ditetapkan oleh Dewan Pers terlebih dahulu.

Dalam SEMA itu, hakim dapat meminta keterangan dari ahli pers. Tujuannya agar majelis hakim mendapat gambaran yang objektif tentang ketentuan-ketentuan dalam UU Pers.
.
Karena itu, dalam SEMA itu, majelis hakim yang menangani atau memeriksa perkara terkait delik pers, hendaknya mendengar keterangan ahli pers. Pasalnya, ahli dari pers yang mengetahui seluk beluk pers secara teori dan praktik.
.
Ditambahkan Wina, Sejak 9 Februari 2012, Dewan Pers juga sudah membuat MoU dengan Polri. Isi MoU adalah koordinasi penegakan hukum dan perlindungan terhadap kemerdekaan pers.
.
Apabila mengenai sengketa terkait pemberitaan pers, kata Wina, maka Polisi akan berkoordinasi dengan Dewan Pers. Lalu meminta pendapat ahli dari Dewan Pers dan mengutamakan pemakaian UU Pers. “Jadi Dewan Pers sudah melakukan perlindungan kemerdekaan pers,” lanjut Wina.
Sekedar menggambarkan kehadiran pakar atau Dewan Pers ketika memberikan keterangan, mereka akan menyatakan, kasus ini masuk dalam jalur jurnalistik atau bukan.
Walaupun dia wartawan, lanjut Wina, kalau memang melakukan tindak pidana seperti perampikan, pemerkosaan, pemerasan, narkoba atau penipuan, itu bukan masuk ranah jurnalistik, itu oknum dan tak perlu dibela, ucapnya.
Dia mencontohkan tindakan insan pers yang tidak masuk ranah jurnalistik. Beberapa waktu lalu dia mengetahui ada wartawan yang mencuri motor. Ada pula yang membantu kasus narkoba dan menipu Rp1,5 miliar.
“Itu bukan masuk ranah jurnalistik, tapi ranah umum sehingga berlaku hukum pidana pada umumnya termasuk KUHP,” pungkasnya.
Sementara Ketua Forum Wartawan Lampung, Jumadi, MR, Merasa keberatan apabila pihak kepolisian memanggil seorang jurnalis lantaran, pemberitaan karena itu merupakan hasil karya jurnalis, mengingatkan, berdasarkan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, jurnalis memiliki Hak Tolak. Menurut pasal 1 butir 10 UU tersebut, hak tolak adalah Hak yang dimiliki wartawan karena profesinya untuk mengungkap keterangan atau identitas narasumber yang dirahasiakan. Sedangkan menurut pasal 4 ayat (4), Hak Tolak digunakan dalam hal jurnalis dimintai pertanggungjawaban hukum atas karya jurnalistiknya,”Ungkap Jumadi.

Dijelaskan Jumadi bahwa, penjelasan pasal 4 ayat (4) mengatakan Hak Tolak diberikan kepada wartawan untuk melindungi sumber informasi. Hak tersebut dapat digunakan apabila jurnalis dimintai keterangan pejabat penyidik atau menjadi saksi di pengadilan. Hak Tolak hanya dapat dicabut oleh pengadilan dengan alasan demi ketertiban umum dan demi keselamatan negara.
Untuk itu, Jumadi mengingatkan, agar penyidik di kopolisian untuk menghormati Hak Tolak jurnalis yang memuat berita tersebut. Hal ini agar jurnalis tetap dapat bekerja secara independen dan imparsial, tanpa perlu merugikan narasumber.
Hak Tolak ini penting agar wartawan tidak diperalat untuk menjerat seseorang. Pejabat penyidik maupun polisi tidak boleh meminta keterangan. Jika jurnalis memberikan keterangan yang dapat digunakan untuk menjerat narasumber, hal ini akan merusak kepercayaan narsumber terhadap jurnalis. Agar kehadiran jurnalis tetap dapat diterima oleh siapapun, maka jurnalis tak boleh memberi keterangan untuk menjerat pihak-pihak lain.
Jumadi, MR, juga menyesalkan apabila ada pemanggilan oleh pihak penyidik kepolisian terhadap wartawan terkait karya jurnalistik yang mereka buat.
“Sudah jelas diatur di dalam UU Pers bahwa wartawan memiliki hak tolak untuk dimintai keterangan oleh penyidik, seharusnya mereka pihak penyidik melakukan konsultasi terkait permasalahan tersebut kepada organisasi wartawan ataupun dewan pers,”sesalnya.
Menurutnya, berita yang ditulis oleh wartawan tentunya sudah memenuhi unsur dan layak untuk dipublikasikan tidak ada ketimpangan dalam pemberitaan kalau yang bersangkutan keberatan dengan pemberitaan tersebut silahkan gunakan hak jawabnya.
“Tapi kalau memanggil jurnalis untuk menjadi saksi atas pemberitaan yang dibuatnya itu salah dan mengkebiri undang-undang pers,”tegasnya.
Sementara, Mantan Ketua PWI Tanggamus Hasbullih,ZS, mengungkapkan, apabila ada pemanggilan terhadap wartawan yang bertugas terkait karya jurnalistik baik itu klarifikasi maupun sebagai saksi atas karya jurnalistiknya. Bang loh panggilan akrap menilai penyidik atau penegak hukum kurang mengerti hukum, harus belajar lagi tentang hukum, karena jelas dalam undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Selain diatur dalam UU Pers, dasar hukum hak tolak juga terdapat dalam pasal 50 KUHP yang menegaskan bahwa, “Mereka yang menjalankan perintah UU tidak dapat dihukum, sama halnya seorang polisi yang bertugas, menembak penjahat sesuai protab apakah bisa di hukum, tentunya tidak, karena menjalankan perintah UU.
Menurutnya, dalam menjalankan tugas jurnalistik, pers menjalankan amanat UU Pers, sehingga konsekuensi tidak dapat dihukum ketika menggunakan hak tolaknya. “Pasal 170 KUHAP yang berbunyi, mereka yang karena pekerjaan, harkat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka,”tuturnya.
Ditambahkannya, Kepada penyidik atau aparat penegak hukum perlu diingatkan bahwa tugas utama wartawan adalah mencari, mengelolah, dan menyebar luaskan informasi. “penyidik atau Aparat hukum sedapat mungkin menghindari memanggil wartawan untuk dimintai keterangan atau menjadi saksi, jika informasi yang telah dicetak atau disiarkan di media massa dirasakan bisa menjadi bahan mengusut kasus,”tegasnya.
Mantan ketua ini juga menegaskan Wartawan tidak diperkenankan menjadi saksi di kepolisian atas suatu pemberitaan yang dimuatnya pada koran. “Wartawan jangan mau jadi saksi. Kesaksiannya itu bisa direpresentasikan dalam produk berita.” Lawan Kriminalisasi Pers, Tegakkan Etika Jurnalistik,” Wartawan juga tidak boleh langsung dipidanakan. “Bila terjadi masalah dengan pemberitaan, maka penyelesaiannya harus sesuai dengan undang-undang pers seperti somasi, hak koreksi dan hak jawab. Wartawan itu sendiri, bertugas menjalankan profesinya dan terikat dengan etika jurnalistik. “Karya jurnalistik adalah karya politik. Tuduhan pelanggaran pidana adalah karya perseorangan. Pelanggaran pidana tidak benar ditujukan kepada wartawan. Apalagi wartawan tersebut sudah standa wartawan kompeten, karena pers atau jurnalist tempat tunduknya adalah dewan Pers, terkecuali wartawan yang tidak jelas. (Jhoni, Red.**)