Oleh
Ariyan Zani, S.I.KomÂ
Editor Medinaslampungnews.co.id
(Medinaslampungnews.co.id) – Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Koordiantor Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendi secara resmi mengumumkan larangan mudik pada 7-16 Mei 2021 beberapa waktu lalu.
Masyarakat di imbau untuk tidak melakukan pergerakan atau bepergian keluar daerah kecuali keperluan yang mendesak.
Pemerintah memutuskan larangan mudik lebaran dengan pertimbangan tingginya angka penularan dan kematian akibat Covid-19 setelah beberapa kali libur panjang, khususnya libur Natal dan Tahun Baru pada 2020.
Larangan mudik Lebaran dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik pada Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah selama 6-17 Mei 2021. Melalui surat edaran ini, pemerintah tegas melarang masyarakat melakukan kegiatan mudik Lebaran 2021 demi mencegah penularan Covid-19.
Namun demikian, terkait larangan mudik oleh pemerintah ini, penulis menilai pemerintah inkonsisten dan ada standar ganda terkait kebijakan mudik. Koordinasi Pemerintah sangat-sangat bermasalah di dalam pemerintahan sendiri.
Jika kita ingat kembali, sebelumnya pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan memperbolehkan mudik dan meminta kepada kemnhub untuk memperhatikan kelayakan sarana transportasi yaitu dengan melakukan inspeksi mendadak (sidak) terhadap personel, ramp check, hingga ketersediaan sarana keselamatan.
Namun setelah itu pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan larangan mudik 2021, berangkat dari hal itu, publik mempertnayakan dan meminta kejelasan kenapa pemerintah selalu inkonsisten dalam megeluarkan kebijakan?
Kita ambil contoh saja, jika memang ingin meningkatkan sektor ekonomi, saya rasa para pemudik akan melakukan transaksi kepada para pedagang kecil, maupun pemiling PO Bus walaupun sedikit, namun akan ada pergerakan ekomoni disitu.
Apakah pemulihan ekonomi yang digaungkan oleh pemerintah itu bernilai mega transkasi atau transaksi yang nilainya besar saja? Penulis juga belum paham bagaimana pola pikir pemerintah.
Pelarangan mudik bagi masyarakat Indonesia terutama bagi PNS, pegawai BUMN, TNI, dan Polri diperkirakan akan mendorong konsumsi di Jakarta.
Berdasarkan riset yang dilakukan Bahana Sekuritas, mobilitas masyarakat dilihat dari Google mengalami penurunan yang paling tajam dibandingkan dengan provinsi lain.
Ini sebenarnya mendorong permintaan yang terpendam dan menjaga aliran uang di Jakarta, yang terpantau dari Google terjadi penurunan mobilitas paling tajam dibandingkan dengan provinsi lain.
Bahana Sekuritas mencatat, Jakarta saat ini ada kurang lebih 997.730 orang yang sudah divaksin dan 294.083 sudah mendapat suntikan kedua. Kemudian 96,7% telah pulih dari Covid-19, angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan rasio tingkat nasional yang mencapai 88,8%.
Menurut proyeksi Bahana Sekuritas, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama empat kuartal di tahun 2021 akan berangsur membaik dan positif. Meskipun pada kuartal I-2021 pertumbuhan ekonomi Indonesia masih mengalami kontraksi atau -0,85%.
Kemudian pada Kuartal II-2021 pertumbuhan ekonomi diproyeksikan akan melesat menjadi 7,82%, kemudian pada Kuartal III-2021 tumbuh 5,93%, dan pada Kuartal IV-2021 diperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kisaran 4,57%. Adapun secara keseluruhan tahun 2021 pertumbuhan ekonomi akan berada pada kisaran 4,3%.
Penulis menilai, jika memang betul-betul larangan mudik oleh pemerintah itu sudah final maka, seyogyanya harus ada regulasi atau aturan yang harus di sinergikan dengan sejumlah transportasi umum.
Selain itu, larangan mudik ini dinilai merugikan masyarakat di sektor tertentu, yang mana pemerintah Indonesia sedang gencar-gencarnya mengampanyekan pemulihan ekonomi, namun, lagi-lagi alasan pandemi lah yang meluluh lantahkan gaungan itu sendiri.
Jika beralasan menekan angka covid-19 di tanah air, penulis menyarankan agar vaksinasi segera dikebut dan utamakan rakyat, penulis dengan logika terbaliknya menilai sia-sia jikapejabat publik ataupun para apartur sipin negara yang melayani masyarakat di vaksin bertahap-tahap namun masyarakatnya sendiri belum di vaksin?