Lampung Utara (MDsNews) – Kasus dugaan gratifikasi Bimtek Pra Tugas Kades di Kabupaten Lampung Utara (Lampura) semakin menarik perkembangannya. Pasalnya, terdakwa inisial ABD yang menjabat sebagai Kepala DPMPDT Kabupaten setempat didakwa menerima suap gratifikasi Rp 25 juta dari pihak penyelenggara kegiatan.
Namun, yang sedikit menggelitik dari kasus korupsi ini adalah perkara di bawah Rp50 juta yang seharusnya dapat diselesaikan dengan Restorative Justice (RJ) sesuai dengan program yang digunakan oleh Jaksa Agung, ST Burhanuddin selama ini. Pada prakteknya, Kejaksaan Negeri Lampura memilih untuk melanjutkan perkara dengan dalih berkas dinyatakan lengkap (P21) oleh jaksa penuntut umum serta demi kepastian hukum bagi empat orang yang kini jadi pesakitan.
Praktisi hukum di Provinsi Lampung, Muhamad Ilyas, yang juga menjabat sebagai ketua bidang hukum dan HAM Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Persadin mengatakan perkara dugaan gratifikasi Bimtek Pratugas Kades seperti dipaksakan harus naik ke meja hijau. Meski diyakini Kepala Kejari Lampura memahami sepenuhnya soal penanganan perkara di bawah Rp50 juta yang diinstruksikan oleh Jaksa Agung untuk menggunakan mekanisme penanganan perkara lewat Restorative Justice.
“Saya kira Kajari Lampung Utara paham betul apa yang diinstruksikan oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin pada penanganan perkara di bawah Rp50 juta itu. Baik perkara umum, maupun tindak pidana korupsi. Jadi untuk apa dipaksakan jika memang bisa menjadi diskursus bersama dalam upaya penyelesaian suatu perkara demi menghemat atau efisiensi biaya yang harus dikeluarkan oleh negara dalam menuntaskan perkara pidana korupsi,” kata Ilyas, kepada awak media, Minggu, (19/11).
Menurutnya, Kejari setempat seperti ingin bermain aman alias tidak ingin ‘bola panas’ ada pada Korps Adhyaksa, meski publik tahu pelimpahan berkas dan tersangka oleh Penyidik Polda Lampung baru berlangsung hitungan hari.
“Begitu singkat pelimpahan perkara ini, satu hari sejak dilakukan penahanan oleh JPU Kejari Lampung Utara, perkara gratifikasi Bimtek Pratugas Kades ini sudah teregister di PN Tanjung Karang, dengan dalih untuk kepastian hukum bagi keempat tersangka,” ujarnya.
Belakangan terakhir, kata dia, muncul lagi pernyataan menohok dari Arteria Dahlan yang mengatakan ada oknum jaksa Kejari setempat yang diduga menerima aliran dana hingga ratusan juta. Hal itu diungkapkan Arteria Dahlan saat Rapat Kerja dengan Komisi III DPR-RI dengan Jaksa Agung.
“Arteria Dahlan sampai bilang pelimpahan kurang dari 1×24 jam itu konyol. Bahkan disebut seperti ingin menaikkan harga ‘saham’ jaksa di Lampung Utara, sampai-sampai Pengadilan Negeri Tanjung Karang bingung, kok jam setengah lima sore tiba-tiba jaksa buru-buru memaksakan berkas dimasukkan,” selorohnya.
Bahkan, sambung dia, Kepala Kejaksaan Tinggi disebutkan akan membantu mengeluarkan dari tahanan. Pernyataan itu dilontarkan langsung Arteria Dahlan dihadapan ST Burhanuddin. Bahkan janji Kajati Lampung akan memeriksa oknum jaksa yang menerima sejumlah uang bakal diperiksa, namun pada kenyataannya hingga kini oknum jaksa yang belum diketahui identitasnya itu belum juga diperiksa.
“Ini menarik, harus diusut sampai tuntas. Seharusnya menjadi perhatian serius, dan oknum jaksa yang disebut ikut menerima sejumlah uang harus diperiksa. Harus dikawal terus agar terang benderang, jangan sampai kecolongan. Lampung Utara harus bersih dari oknum-oknum nakal yang mencoba menghancurkan kepercayaan hukum di mata publik,” tegasnya.
Masih kata Ilyas, mantan aktivis LBH Bandar Lampung ini menyayangkan sikap sekaligus langkah yang diambil Kejari Lampura. Mengingat sebelumnya pihak kejaksaan selalu menggaungkan program Restorative Justice bahkan belum lama ini rumah RJ di Lampung Utara baru saja diresmikan.
“Sangat disayangkan, kenapa tidak diselesaikan di Rumah Restorative Justice yang jadi program Kejaksaan. Apalagi disana kan ada Rumah RJ untuk penyelesaian kasus perkara dibawah Rp50 juta. Seperti intruksi Kejagung yang mengedepankan RJ pada perkara korupsi dibawah Rp50 juta demi menghemat pengeluaran negara dalam penanganan perkara sampai inkrah bahkan saat terdakwa menjadi terpidana dan harus ditanggung hidupnya oleh negara selama menjalani hukuman,” tandasnya. (Rma)