LAMPUNG (MDSNews) — Harapan baru muncul dari gelapnya proses peradilan di Indonesia, Pasca Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia memutus bebas advokat dan pembela HAM Anton Heri.
Dari seluruh dakwaan pidana yang menjeratnya, Dalam putusan kasasi Nomor: 6413 K/PID.SUS-LH/2025 yang dibacakan Jumat, 13 Juni 2025, majelis hakim menyatakan, Dakwaan tidak terbukti dan terdakwa bebas.
Direktur LBH Bandar Lampung Suma Indra mengatakan, bahwa Putusan ini menjadi tamparan keras bagi upaya sistematis yang kerap menjadikan hukum sebagai alat represi terhadap para pejuang lingkungan dan hak asasi manusia
“MA dengan tegas menolak permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum, sekaligus membebaskan Anton Heri dari segala tuntutan yang sebelumnya memaksanya melewati jalan panjang peradilan penuh tekanan,” kata Suma kepada media ini.
Bahkan, Disinyalir Kasus Anton Heri sejak awal sarat dengan upaya kriminalisasi, Sebagai advokat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) 98, Anton tengah mendampingi warga tiga kampung—Kota Bumi, Sumsang, dan Penengahan di Kabupaten Way Kanan—yang bersengketa dengan PT. Adi Karya Gemilang (AKG) terkait HGU perusahaan. Aksi warga yang memperbaiki jalan di wilayah HGU perusahaan justru dijadikan dasar laporan pidana oleh PT. AKG.
“Melalui Polda Lampung dan Kejaksaan Negeri Blambangan Umpu, Anton Heri kemudian dijerat Pasal 107 UU Perkebunan yang telah diubah dalam UU Cipta Kerja, ditambah Pasal 55 KUHP tentang turut serta. Ia divonis 6 bulan penjara dan 1 tahun percobaan oleh PN Blambangan Umpu, vonis yang dikuatkan di tingkat banding oleh PT Bandar Lampung. Namun, Mahkamah Agung akhirnya membatalkan vonis tersebut dan memutus Anton Heri bebas murni,” ungkapnya
Sehingga, kata dia, bahwa putusan ini adalah kemenangan moral bagi perjuangan para pembela HAM dan lingkungan.
“Ini bukan sekadar pembebasan Anton Heri, tapi perlawanan terhadap praktik judicial harassment—penyalahgunaan hukum untuk membungkam pembela keadilan,” tegasnya.
Selain itu, sambung dia, Kriminalisasi terhadap Anton Heri mencerminkan pola umum di Indonesia, di mana advokat atau aktivis yang vokal kerap menjadi target pelaporan demi melemahkan advokasinya. Instrumen hukum disalahgunakan, bukan untuk menegakkan keadilan, melainkan melindungi kepentingan modal dan korporasi.
Padahal, tindakan Anton Heri dalam memberikan bantuan hukum kepada warga dilindungi oleh UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 dan UU Bantuan Hukum Nomor 16 Tahun 2011. Sayangnya, penegak hukum tetap memaksakan perkara ini ke meja hijau.
“Ditengah rendahnya kepercayaan publik terhadap sistem hukum, MA membuktikan bahwa keadilan masih mungkin ditegakkan. Putusan ini menjadi preseden penting bagi aparat penegak hukum untuk berhati-hati dalam menangani perkara yang melibatkan advokat dan pembela HAM dan Hukum harus berpihak pada kebenaran, bukan menjadi alat kekuasaan dan modal,” ucapnya
Kendati Demikian, Putusan MA ini juga menjadi pengingat bagi hakim di seluruh Indonesia untuk menjunjung tinggi asas imparsialitas, menjaga marwah pengadilan, dan tidak terjebak pada kepentingan pihak-pihak yang mencoba menyetir hukum demi keuntungan mereka.
“Anton Heri hanyalah satu dari banyak advokat yang berjuang di garis depan membela hak-hak masyarakat atas tanah dan lingkungan hidup,” terangnya
Ia menambahkan, jika Kasus ini juga menunjukkan betapa advokat yang menjalankan tugasnya dengan itikad baik pun tidak kebal dari kriminalisasi. Namun, kemenangan di Mahkamah Agung ini menjadi catatan penting perjuangan di jalur hukum.
“Putusan ini adalah penegasan bahwa hukum semestinya menjadi alat keadilan, bukan alat intimidasi. Dan keadilan itu, meski terseok, tidak pernah benar-benar mati,” tandasnya.