Bandar Lampung (MDSnews) — Guru Besar Hukum Universitas Lampung, Prof. Dr. Hamzah, S.H., M.H., PIA, menegaskan bahwa tindakan penyidik Kejaksaan Tinggi Lampung yang menyita aset senilai Rp40 miliar dalam perkara dugaan korupsi proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Pesawaran sah secara hukum, meskipun nilai proyek hanya Rp8 miliar.
Penjelasan itu disampaikan Prof. Hamzah menanggapi sorotan publik yang menilai langkah penyidik berlebihan.
Ia mengutip adagium hukum Salus populi suprema lex esto dan Corruptio optimi pessima, yang menurutnya relevan dalam penanganan tindak pidana korupsi sebagai extraordinary crime.
Penyitaan Boleh Melebihi Nilai Kerugian Negara
Menurut Prof. Hamzah, dalam tindak pidana korupsi penyitaan tidak dibatasi pada nilai kerugian negara, tetapi seluruh harta yang diduga berasal dari kejahatan.
Ia merujuk Pasal 39 KUHAP dan Pasal 18 UU Tipikor yang memperluas objek penyitaan.
“Negara berwenang menyita semua aset yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi, termasuk hasil pencucian uang, meskipun nilainya jauh melebihi nilai proyek,” kata Hamzah dalam keterangannya.
Ia menjelaskan, angka Rp40 miliar kemungkinan merupakan akumulasi dari sejumlah aset yang diduga terkait rangkaian perbuatan korupsi ataupun tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan tersangka.
“Penyidik harus proaktif agar aset tidak dipindahkan atau disembunyikan. Langkah ini umum dilakukan dalam perkara korupsi skala besar,” ujarnya.
Kewenangan Penyidik dan Mekanisme Pengembalian
Hamzah menjelaskan bahwa penyitaan yang melebihi kerugian negara juga menjadi dasar bagi hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti dalam jumlah lebih besar.
Jika dalam proses peradilan total kerugian negara atau uang pengganti lebih kecil dari nilai aset yang disita, kelebihan tersebut wajib dikembalikan kepada pihak berhak.
“Penyitaan Rp40 miliar pada tahap penyidikan adalah bentuk pengamanan aset. Jika nanti tidak terbukti, sisanya dikembalikan,” ujarnya.
Status Istri atau Keluarga dalam Kasus Korupsi
Publik juga mempertanyakan apakah istri atau keluarga tersangka bisa ikut dipidana bila menikmati harta yang ternyata berasal dari hasil korupsi. Menjawab itu, Prof. Hamzah menegaskan asas geen straf zonder schuld tiada pidana tanpa kesalahan.
“Istri tidak otomatis dipidana hanya karena menikmati nafkah atau menggunakan harta suami. Ia harus terbukti mengetahui asal-usul harta atau turut membantu menyembunyikan aset,” jelasnya.
Menurutnya, keluarga dapat dipidana jika:
Dengan sengaja membantu tindak pidana korupsi; mengetahui atau patut menduga bahwa harta berasal dari kejahatan; aktif menyembunyikan, mengalihkan, atau mengatasnamakan aset; Melakukan perbuatan yang masuk dalam unsur TPPU.
Sebaliknya, jika keluarga tidak mengetahui asal-usul harta, negara tetap bisa melakukan perampasan aset tanpa mempidanakan mereka, selama aset tersebut terbukti merupakan hasil tindak pidana.
Prof. Hamzah menutup penjelasannya dengan menegaskan bahwa penyitaan asset recovery adalah instrumen penting untuk memerangi korupsi.
“Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang merusak. Karena itu, negara boleh mengambil langkah luar biasa untuk memeranginya,” ujarnya.(*)