Tanggamus (Medinas_News) — Air mata itu jatuh perlahan, tak terbendung. Di hadapan awak media, Sawiyah binti Panut Parto (54) hanya mampu menundukkan kepala. Suaranya bergetar, matanya sembab. Perempuan yang telah 13 tahun mengabdi sebagai istri ini mengaku tak pernah membayangkan kisah rumah tangganya akan berakhir dengan cara sedih dan menyayat hati.
Sawiyah adalah istri dari Ngatemin, seorang honorer di Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Tanggamus yang kini tercatat sebagai calon Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) paruh waktu dan dijadwalkan akan dilantik pada Jumat, 2 Januari 2026. Namun di balik kabar kelulusan dan kesuksesan itu, tersimpan luka mendalam yang harus ditanggung seorang istri.
Dengan linangan air mata, Sawiyah menuturkan bahwa dirinya merasa dibohongi oleh suami sendiri. Ia mengaku diminta meminjamkan Kartu Keluarga (KK) dan KTP dengan alasan untuk melengkapi persyaratan administrasi P3K. Tanpa curiga, ia menyerahkan dokumen tersebut, demi mendukung masa depan suaminya.
Namun harapan itu berubah menjadi mimpi buruk. Sawiyah baru menyadari bahwa dokumen pribadinya diduga digunakan pula dalam pengajuan cerai talak ke Pengadilan Agama Tanggamus. Ia mengaku tidak pernah diajak bicara, tidak pernah dimintai persetujuan, hingga akhirnya dipanggil secara resmi oleh pengadilan.
“Saya benar‑benar kaget… saya tidak tahu apa‑apa. Tahu‑tahu dipanggil pengadilan,” ujar Sawiyah sambil terisak.
Selama 13 tahun membina rumah tangga, Sawiyah mengaku setia mendampingi Ngatemin dari nol. Keduanya merintis usaha peternakan kambing sebagai sumber penghidupan keluarga. Usaha itu dibangun dengan keringat dan kerja keras bersama, dan selama bertahun‑tahun menjadi penopang ekonomi rumah tangga mereka.
Namun, setelah gugatan cerai diajukan, Sawiyah mengaku seluruh harta gono‑gini dibawa pergi, termasuk sekitar 20 ekor kambing hasil usaha bersama. Tak ada yang ditinggalkan. Tak ada yang disisakan. Sawiyah mengaku kini hidup tanpa pegangan ekonomi.
Isu yang berkembang di masyarakat menyebutkan bahwa sejak awal pernikahan, Ngatemin diduga pernah empat kali melakukan perselingkuhan. Sawiyah mengaku mengetahui hal tersebut, namun memilih memaafkan demi mempertahankan keutuhan rumah tangga. “Saya bertahan, saya sabar, karena saya ingin rumah tangga saya utuh,” tuturnya lirih.
Sawiyah juga membantah keras tudingan bahwa dirinya sering menuntut atau keras kepala. Ia justru mengaku kerap tidak dinafkahi secara layak dan tetap memilih diam. Bahkan isu bahwa dirinya pernah mengusir suami dari rumah ditegaskan tidak benar. “Saya tidak pernah berani melawan. Saya selalu nurut,” katanya.
Luka Sawiyah kian dalam saat menghadiri sidang pertama di Pengadilan Agama Tanggamus. Dalam kondisi bingung dan tidak memahami proses hukum, ia justru mengaku mendapat perlakuan yang menyakitkan dari seorang oknum pengadilan berinisial “Sw”. Sawiyah menyebut dirinya dimarahi dan disuruh pulang, seolah kehadirannya tidak diinginkan. Peristiwa tersebut, menurutnya, disaksikan langsung oleh tetangganya yang ikut mendampingi.
Kini, di tengah kehancuran rumah tangga dan kehilangan seluruh harta bersama, Sawiyah hanya bisa menangis dan berharap ada keadilan. Ia mempertanyakan, apakah pantas seseorang yang meninggalkan istri tanpa nafkah, membawa seluruh harta gono‑gini, justru akan dilantik sebagai aparatur negara.
Dengan air mata yang terus mengalir, Sawiyah memohon perhatian Bupati Tanggamus agar mengevaluasi kelayakan moral calon P3K yang akan dilantik. “Saya hanya ingin keadilan. Jangan sampai kesuksesan dibangun di atas air mata istri,” ucapnya pelan.
Sementara itu, dari pihak Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Tanggamus, salah satu kepala bidang (kabid), Robi, memberikan keterangan bahwa berdasarkan pengetahuannya, dalam rumah tangga Ngatemin dan Sawiyah memang kerap terjadi cekcok.
Robi menyebutkan, puncak persoalan terjadi setelah pernikahan anak mereka, di mana menurut pengakuan Ngatemin, dirinya sempat diusir dari rumah oleh Sawiyah.
Namun pernyataan tersebut dibantah tegas oleh Sawiyah. Ia menyatakan tidak pernah mengusir suaminya dan menegaskan bahwa dirinya tidak berani melakukan tindakan tersebut. Sawiyah menilai, keterangan yang beredar tersebut tidak sesuai dengan fakta yang ia alami selama membina rumah tangga. “Saya tidak pernah mengusir. Saya selalu patuh,” ujar Sawiyah, kembali menitikkan air mata.
Kisah Sawiyah menjadi potret getir sebuah pengabdian yang terlupakan. Saat status ASN tinggal selangkah lagi, seorang istri yang setia selama 13 tahun justru harus menerima kenyataan pahit: ditinggal, kehilangan segalanya, dan berjuang sendiri mencari keadilan.
Jurnalis : (Erwin).